Dari banyaknya pekerjaan rumah yang tengah dihadapi, dikhawatirkan Indonesia tidak mampu berkecimpung dalam ASEAN Economic Community (AEC) 2015 nanti. Hal senada disampaikan oleh beberapa pihak, di antaranya Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, terkait masalah infrastruktur serta perizinan investasi dalam menghadapi AEC. Forum ini sendiri merupakan julukan bagi ASEAN yang akan mengalami integrasi ekonomi dalam hal lalu lintas perdagangan, investasi, dan mobilitas warga layaknya satu negara.
Bangsa ini bukan berarti lemah untuk bersaing dalam percaturan ekonomi global, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Indonesia yang secara geografis terletak strategis memiliki berbagai kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik sumber daya alam migas maupun nonmigas.
Berada di peringkat pertama sebagai penghasil produk pertanian, yaitu cengkeh (cloves) & pala (nutmeg), serta peringkat kedua dalam karet alam (Natural Rubber) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) menjadi nilai lebih bagi Indonesia.
Di sektor migas, ladang minyak (basins) sebanyak 60 lokasi dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, bangsa ini terkesan tidak mampu memanfaatkan keunggulan yang dimilikinya, sehingga dikhawatirkan tidak mampu bersaing dalam forum-forum ekonomi global, bahkan di kawasan regional sekalipun.
Adapun upaya mencapainya harus dilakukan penyelesaian atas masalah yang menghadang. Beberapa di antaranya berupa penyediaan infrastruktur untuk memperlancar sistem logistik, penyediaan listrik, penyelesaian regulasi ketenagakerjaan serta peningkatan kualitas tenaga kerjanya, dan penciptaan iklim investasi yang kondusif.
Penyediaan infrastruktur dapat dilakukan melalui pembenahan jaringan jalan, kereta api, laut, sungai, danau, udara, serta pembenahan jaringan informasi dan komunikasi yang handal. Melalui pembenahan ini, permasalahan logistik yang dapat mengganggu arus kelancaran barang dapat segera diselesaikan.
Menurut Global Competitiveness Report 2009-2010, Indonesia berada di peringkat ke-96 di antara 133 negara berkembang dalam daya saing infrastruktur, jauh di bawah Thailand di peringkat ke- 41, Malaysia di peringkat ke-27 dan China di peringkat ke-66.
Menurut data di Bappenas, anggaran yang direncanakan untuk pembenahan infrastruktur adalah 5% -6% dari PDB dan saat ini infrastruktur anggaran Indonesia sekitar 3,25% dari PDB. Rasio anggaran diperkirakan akan meningkat menjadi 5% pada tahun 2014.
Penyediaan listrik untuk kalangan industri maupun UKM juga mutlak diperlukan untuk mencapai hasil produksi yang efisien. Pihak PLN harus melakukan upaya-upaya maksimal dalam mensuplai listrik bagi kebutuhan industri dan UKM serta masyarakat secara umum. Upaya pemerintah dalam mengalokasikan investasi langsung ke PT.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Rp 7,5 triliun harus disambut baik oleh semua pihak. Pinjaman tersebut merupakan pinjaman berbunga murah yang harus digunakan PLN untuk membangun transmisi.
Tindakan-tindakan di atas juga perlu diimbangi dengan proses pergeseran pengelolaan energi secara umum dari supply side management ke demand side management. Hal ini dapat ditempuh melalui pengembangan pembangkit listrik mulut tambang serta peningkatan pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik.
Indonesia memiliki kapasitas pembangkit listrik diperkirakan mencapai 21,4 gigawatt, dengan 87,0% berasal dari sumber termal (gas, minyak, dan batubara); 10,5% dari tenaga air; dan 2,5% dari panas bumi. Sebelum krisis keuangan Asia, Indonesia berencana untuk meningkatkan jumlah pembangkit listrik, yang didasarkan terutama membuka kekuatan pasar Indonesia untuk mencapai Independent Power Producer (IPP).
Krisis ini menyebabkan kesulitan keuangan di Pembangkit Listrik Negara (PLN). PLN memiliki utang lebih dari $ 5 milyar. Beberapa hal lain yang mesti dibenahi adalah masalah peraturan ketenagakerjaan.
Di samping itu, masalah mutu ketenagakerjaan mutlak diperlukan. Krisis ekonomi global yang berasal dari krisis keuangan di Amerika Serikat secara signifikan mempengaruhi sektor lapangan kerja di Indonesia. Sektor industri terkena dampak langsung dari krisis diantaranya bidang tekstil dan otomotif.
Para pengusaha yang langsung terkena dampak krisis ekonomi telah mengurangi jumlah produksi, memberhentikan beberapa karyawan atau pemutusan hubungan kerja. Data pemerintah menunjukkan bahwa sampai pertengahan November 2008 tercatat 12.600 pekerja formal terancam di-PHK . Faktanya banyak perusahaan melakukan PHK tanpa resmi.
Masalah ini bisa diselesaikan dengan peningkatan pengalaman kerja, peningkatan disiplin kerja, pengikutan pelatihan-pelatihan, peningkatan komunikasi kerja dan peningkatan pendidikan formal tenaga kerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi upaya peningkatan kualitas tenaga kerja adalah melalui perbaikan kinerja, kebijakan dalam perencanaan SDM serta lingkungan kerja, perubahan kebijakan pemerintah, kemajuan dan perkembangan teknologi dan kondisi perekonomian yang berkembang.
Pemerintah juga perlu melakukan upaya-upaya serius dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Jumlah investasi belum cukup untuk menciptakan lapangan kerja baru secara signifikan untuk membantu mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi saat ini lebih didorong oleh sektor konsumsi dibandingkan dengan sektor investasi.
Sebuah survei yang dilakukan oleh ADB menunjukkan masih ada rintangan yang menghambat masuknya investasi di negeri ini. Rintangan termasuk ketidakpastian politik, ekonomi, korupsi, serta pajak yang tinggi.
Sebagian besar perusahaan menghadapi berbagai kendala usaha dan berorientasi ekspor. Di sisi lain mereka diharapkan untuk melayani sebagai motor penggerak perekonomian. Banyak perusahaan besar yang menghadapi masalah pajak, tenaga kerja serta masalah hukum. Pungutan liar pun diperkirakan mencapai 4,7% dari nilai penjualan.
Desentralisasi Kebijakan ternyata menyebabkan kerugian di sektor investasi sebagai akibat memburuknya sektor investasi. Pemerintah pusat telah meminta pemerintah daerah untuk mencabut peraturan yang bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat.
Proses perizinan perusahaan memakan waktu lama, kurang lebih 115 hari dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Berbeda sekali dengan negara-negara Asean lainnya yang hanya membutuhkan waktu sekitar 60 hari saja.
Bangsa yang besar ini tentu saja memiliki potensi yang berlimpah untuk dikembangkan dan ditingkatkan. Hanya perlu sedikit lagi usaha dari semua pihak agar bangsa ini dapat menjadi lebih baik.
Sumber : http://netternews.com